Bertabur Kasih - Kartini namanya Harum. Inspirator perjuangan Kaum Perempuan di Indonesia. Yang sering dikaitkan dengan kesuksesan. Misal, mampu menduduki jabatan politis dan cemerlang dalam karir. Namun itu tidak semua. Seperti mereka yang membanting tenaga menjadi buruh kuli bangunan
SUTAMI, Pontianak
Proyek pembangunan rumah toko (ruko) di Jalan Perdana depan Bali Agung III Pontianak sedang berlangsung proses pengerjaannya. Tumpukan material bangunan banyak terlihat disana. Demikian pula aktifitas para buruh kuli bangunannya.
Alat bangunan seperti sekop menjadi teman bagi mereka. Hampir setiap hari para pekerja berhubungan dengan perkakas itu, kecuali hari Minggu. Intinya akan berhenti total jika pekerjaan sudah selesai dan bangunan sudah kokoh berdiri.
Jika melihat kuli buruh bangunan dalam proyek itu ada sesuatu berbeda. Sebab, secara umum pekerjaan kuli bangunan biasa identik dengan kaum pria. Namun ini tidak. Setidaknya ada 13 kaum perempuan ikut bekerja disana. Dengan kewajiban pekerjaan yang sama. Misal menghampar batu dan mengecor.
Semua dilakukan atas keinginan pribadi. Penyebabnya adalah tuntutan ekonomi yang harus ditutupi. Menyambung dapur di rumah biar tetap bisa mengepul dan pendidikan anak tidak terbengkalai. Membanting tulang dan melakukan pekerjaan berat sudah seperti konsekuensi yang harus dijalani.
Maka, nekat menjadi buruh kuli bangunan bukan karena terinspirasi perjuangan Kartini. Melainkan sepenuhnya panggilan keadaan. Sebab mereka mengaku tidak kenal dengan Kartini . Apalagi harus menyibukkan diri memperingati Hari Kartini dengan berkebaya lengkap. Sesuatu hal yang tidak mungkin. Justru dianggap bisa menghilangkan pendapatan, karena gaji mereka dihitung berdasar sistim harian.
''Anak Saya tujuh. Sudah pisah dengan suami. Mau apalagi kalau tidak bekerja. Bekerja jadi buruh kuli bangunan pastinya bukan keinginan bagi seorang perempuan atau Saya sendiri sekalipun,'' kata Radiah (38), Jumat (21/4) ditemui disela bekerja mengangkut batu.
Menjadi kuli bangunan hampir setahun terakhir dijalani Radiah. Pengalamannya sudah dibanyak tempat. Tapi masih sebatas di kawasan Kota Pontianak, seperti di Purnama dan Villa Gading Sepakat.
Radiah mengawali bekerja menjadi kuli bangunan sepenuhnya karena ajakan teman. Yang awalnya sempat berfikir ulang menerima tawaran tersebut. Alasannya, takut tidak mampu dengan beban kerja berat. Namun setelah dijalani mulai terbiasa. Dengan mendapat upah harian senilai Rp. 50 ribu.
Tapi upah yang didapat tidak diterima utuh. Karena harus menyisihkan biaya transportasi sebesar Rp. 7000 setiap harinya. Mengingat kediaman dan lokasi kerja cukup jauh. ''Rumah saya di Arang Limbung. Pukul 05.30 sudah berangkat dari rumah. Kalau jam kerjanya sampai pukul 16.00,'' kata Radiah.
Radiah tidak sendirian. Lusiah Aka (36) juga terpaksa memilih menjadi kuli bangunan. Mantan buruh pabrik Benua Indah ini bahkan mengaku pernah menghampar batu untuk pembangunan di Bandara Supadio.
Pekerjaan yang semula dianggap terlampau berat bagi kaum perempuan. Tapi keadaan yang memaksanya harus memilih. Apalagi dia sangat tidak menginginkan pendidikan kedua anaknya harus terputus karena kendala biaya. ''Suami saya kerja jadi buruh Sawit di Bengkayang,'' katanya.
Lusiah sendiri tidak bisa memastikan kapan berhenti menjadi kuli buruh bangunan. Tapi akan memilih tetap bekerja selama badan masih sehat. “Selama mampu. Tetap bekerja. Tidak tahu kapan berhenti,” katanya. (**)
Diposkan oleh sutami di 00.45
Label: HUMANIORA
Sumber : http://www.kabarnetizen.com/2017/02/demi-uang-gadis-cantik-ini-rela.html#
SUTAMI, Pontianak
Proyek pembangunan rumah toko (ruko) di Jalan Perdana depan Bali Agung III Pontianak sedang berlangsung proses pengerjaannya. Tumpukan material bangunan banyak terlihat disana. Demikian pula aktifitas para buruh kuli bangunannya.
Alat bangunan seperti sekop menjadi teman bagi mereka. Hampir setiap hari para pekerja berhubungan dengan perkakas itu, kecuali hari Minggu. Intinya akan berhenti total jika pekerjaan sudah selesai dan bangunan sudah kokoh berdiri.
Jika melihat kuli buruh bangunan dalam proyek itu ada sesuatu berbeda. Sebab, secara umum pekerjaan kuli bangunan biasa identik dengan kaum pria. Namun ini tidak. Setidaknya ada 13 kaum perempuan ikut bekerja disana. Dengan kewajiban pekerjaan yang sama. Misal menghampar batu dan mengecor.
Semua dilakukan atas keinginan pribadi. Penyebabnya adalah tuntutan ekonomi yang harus ditutupi. Menyambung dapur di rumah biar tetap bisa mengepul dan pendidikan anak tidak terbengkalai. Membanting tulang dan melakukan pekerjaan berat sudah seperti konsekuensi yang harus dijalani.
Maka, nekat menjadi buruh kuli bangunan bukan karena terinspirasi perjuangan Kartini. Melainkan sepenuhnya panggilan keadaan. Sebab mereka mengaku tidak kenal dengan Kartini . Apalagi harus menyibukkan diri memperingati Hari Kartini dengan berkebaya lengkap. Sesuatu hal yang tidak mungkin. Justru dianggap bisa menghilangkan pendapatan, karena gaji mereka dihitung berdasar sistim harian.
''Anak Saya tujuh. Sudah pisah dengan suami. Mau apalagi kalau tidak bekerja. Bekerja jadi buruh kuli bangunan pastinya bukan keinginan bagi seorang perempuan atau Saya sendiri sekalipun,'' kata Radiah (38), Jumat (21/4) ditemui disela bekerja mengangkut batu.
Menjadi kuli bangunan hampir setahun terakhir dijalani Radiah. Pengalamannya sudah dibanyak tempat. Tapi masih sebatas di kawasan Kota Pontianak, seperti di Purnama dan Villa Gading Sepakat.
Radiah mengawali bekerja menjadi kuli bangunan sepenuhnya karena ajakan teman. Yang awalnya sempat berfikir ulang menerima tawaran tersebut. Alasannya, takut tidak mampu dengan beban kerja berat. Namun setelah dijalani mulai terbiasa. Dengan mendapat upah harian senilai Rp. 50 ribu.
Tapi upah yang didapat tidak diterima utuh. Karena harus menyisihkan biaya transportasi sebesar Rp. 7000 setiap harinya. Mengingat kediaman dan lokasi kerja cukup jauh. ''Rumah saya di Arang Limbung. Pukul 05.30 sudah berangkat dari rumah. Kalau jam kerjanya sampai pukul 16.00,'' kata Radiah.
Radiah tidak sendirian. Lusiah Aka (36) juga terpaksa memilih menjadi kuli bangunan. Mantan buruh pabrik Benua Indah ini bahkan mengaku pernah menghampar batu untuk pembangunan di Bandara Supadio.
Pekerjaan yang semula dianggap terlampau berat bagi kaum perempuan. Tapi keadaan yang memaksanya harus memilih. Apalagi dia sangat tidak menginginkan pendidikan kedua anaknya harus terputus karena kendala biaya. ''Suami saya kerja jadi buruh Sawit di Bengkayang,'' katanya.
Lusiah sendiri tidak bisa memastikan kapan berhenti menjadi kuli buruh bangunan. Tapi akan memilih tetap bekerja selama badan masih sehat. “Selama mampu. Tetap bekerja. Tidak tahu kapan berhenti,” katanya. (**)
Diposkan oleh sutami di 00.45
Label: HUMANIORA
Sumber : http://www.kabarnetizen.com/2017/02/demi-uang-gadis-cantik-ini-rela.html#
loading...